Minggu, 16 Juni 2013

My Choice

Karya Areta Giovanni

"Benarkah?"

Wanita kecil dihadapanku mengangguk. "Benar. Kalau tidak percaya, tanya saja sama yang lain,"

Dia tersenyum kecil. Sementara aku mengerutkan dahiku, tidak percaya. Dia memutar matanya, lalu berdecak kecil.

"Ck.. Sasha, dengar aku ya," kedua tangannya memegang bahuku, kemudian meremasnya pelan. "Putra sudah tidak bisa dipercaya lagi. Akulah yang dapat kau percaya,"

Aku menatap matanya. Dapat kulihat matanya berpendar lembut menatapku.

Aku menelan ludah. Bimbang, dengan siapakah aku berpihak? Aya? Atau Putra?

---------------------

Aku masih berkutat dengan bukuku ketika akhirnya aku menyadari bahwa kelasku sudah kosong. Aku berdecak, lalu mulai merapikan buku-bukuku yang ada diatas meja.

"Lagi-lagi kau begitu serius belajar sampai lupa untuk pulang ya, Sasha," sebuah suara bass nan seksi berhasil mengagetkanku. Aku memutar kepalaku cepat, mencari sumber suara yang belakangan ini menjadi favoritku. Dan aku menemukan sumbernya, yang juga ku favoritkan.

Aku tertawa kecil. "Kau sangat mengenalku, Putra,"

Dia tersenyum lebar. Menampakkan lesung pipitnya dan membuat wajahnya tampak semakin tampan. Aura maskulinnya begitu kuat, sampai-sampai memenuhi udara diruang kelas ini dan membuat dadaku terasa sesak.

Aku kembali fokus dengan kegiatanku. Dari sudut mataku, dapat kulihat dia berjalan pelan mendekatiku. Membuat sebuah beat tak teratur berdisko di dadaku. Tapi dia berhenti 2 meter jauhnya dariku. "Sasha?"

Aku yang masih sibuk merapikan buku, terpaksa berhenti sebentar untuk menatap wajahnya. "Ya, Putra?"

Dia diam sebentar. Hanya menatapku. Kemudian, dia menarik nafas pelan dan menghembuskannya keras.

"Apa Aya mengatakan sesuatu padamu?"

Aku terdiam. Otakku berperang. Bagaimana bisa dia tau kalau Aya sudah mengatakan sesuatu padaku? Padahal kami bicara sembunyi-sembunyi.

Aku menggeleng. "Tidak. Dia tidak mengatakan apa-apa padaku," kataku sambil tersenyum kecil. Mata bulatku kembali kepada bukuku, menghindari mata elangnya menatapku tajam. Lalu dia tertawa mengejek. "Jangan coba-coba membohongiku, Sasha. Aku mengenalmu dengan sangat baik,"

Sudah kuduga.

Aku menelan ludah. "Baiklah. Dia memang mengatakan sesuatu padaku. Lalu? Apa masalahmu?" aku menyampirkan tasku kepundak kananku, kemudian mulai fokus pada pembicaraan yang tidak kuharapkan ini. Dia memutar mata, kesal.

"Dasar, perempuan seperti dia memang harus dibungkam," aku mengernyitkan dahiku. Lalu mendengus keras.

"Kau menyalahkannya?" dapat kulihat rahangnya mengeras, dan dia mengepalkan telapak tangannya keras.

"Kenapa kau tidak mencoba berubah, Putra?"

Kalimatku itu berhasil membuat kepalan tangannya menggebrak meja dihadapannya. Membuatku memekik kecil.

"Jangan pernah mencoba mengatur hidupku, Sasha," dia mengarahkan telunjuknya kewajahku, berusaha mengancamku. Aku perlu usaha sangat keras untuk menunjukkan rasa tidak takutku kepadanya ketika matanya menatapku dingin.

Aku menelan ludah. Sebaiknya aku mengakhiri pembicaraan ini secepatnya.

"Aku duluan," kataku sambil berjalan cepat, meninggalkan dirinya. Matanya mengikuti gerakanku. Dapat kudengar samar-samar suara gerutunya.

"Sasha!" suara beratnya memanggilku. Tapi aku tetap berjalan lurus, tidak peduli.

"Ingat! Akulah yang dapat kau percaya, Sasha! Aya itu provokator! Jauhi dia!"

Teriakannya membuat wajahku memucat.

Satu lagi orang yang meminta aku untuk mempercayainya.

---------------------

"Apa maumu?" kataku pelan ketika Aya datang dengan tatapan horornya yang sangat menyeramkan.

Dia mengerutkan dahinya. "Apa perlu aku meneriaki dirimu? Aku bilang, percaya padaku!" dia menggoyang-goyangkan tubuhku keras. Aku menepis tangannya kasar.

"Lepaskan!" dia menatapku tak percaya. "Sasha?! Kau sadar dengan yang kau lakukan?!"

Aku mengangguk malas. "Ya. Aku sadar 100% apa yang kulakukan. Jadi tolong, jauhi aku," aku menatap mata sipitnya erat. Berusaha menunjukkan keseriusanku yang paling maksimal.

Dia diam sebentar, kemudian mendengus keras.

"Terserah," katanya pelan, kemudian pergi meninggalkanku sendirian.

---------------------

Aku menatap keluar jendela. Menatap kekosongan. Membiarkan rasa hampa memenuhi dadaku.




Tanpa sadar, cairan bening sudah memenuhi pelupuk mataku. Begitu berat. Begitu tak sabar untuk dijatuhkan.

Aku mengerang pelan. Lalu mulai terisak. Menyadari bahwa aku memang harus melakukannya.

Aku memang harus memilih.

Jika aku memilih salah satunya, maka aku harus meninggalkan yang satunya lagi.

Dan hal itu tak mungkin kulakukan.

Karena aku tak sanggup meninggalkan salah satunya.

---------------------

"Sasha!" teriakan Nina membuatku tersadar, dan meninggalkan khayalanku untuk sementara waktu. "Ya, kenapa Nina?"

Dia menjawab pertanyaanku dengan gelengan kecil. Dia mengerutkan dahinya. "Kau baik-baik saja? Matamu terlihat seperti panda. Lingkaran hitamnya tampak begitu jelas,"

Aku tersenyum kecil, terpaksa. "Ya, memang belakangan ini aku susah tidur. Aku memikirkan......sesuatu,"

Dia menarik nafasnya. "Apa kau kepikiran dia?"

Kali ini, dia berhasil membuat seluruh tubuhku terfokus padanya. "Dia?"

Dia mengangguk kecil. "Putra. Dia mau pindah, kan?"

Aku kembali menatap lurus. "Ya, aku tau itu. Tapi bukan dia yang kupikirkan,"

Bohong.

Keheningan menyebar ke seluruh penjuru. Membuat segalanya terasa sangat hampa. Kosong. Gelap.

Seperti hatiku.

Tiba-tiba, aku terpikirkan untuk berbuat sesuatu.

"Aku harus pergi, Nina. Permisi,"

Aku bangkit dari dudukku, mengamit tasku dan meninggalkannya dengan tatapan herannya yang menatapku tak henti sampai aku menghilang dari pandangannya.

---------------------

"Apa maumu, Sasha?"

Kali ini, Aya lah yang bertanya padaku. "Bukankah kau memintaku untuk menjauhimu?"

"Kenapa kau selalu menyulut pertengkaranku dengan Putra?!" aku berkata tajam padanya, memutuskan untuk tidak berbasa-basi lagi.

Dia mengernyitkan dahinya. "Aku?"

"Kau jangan pura-pura bodoh, Aya,"

Bahunya menegak. "Lalu, kalau iya, kenapa?!"

Aku menatapnya tak percaya. Tak menyangka dia akan berkata jujur seperti ini.

Karena ini bukanlah kebiasaannya.

"Kenapa.......?"

"Karena aku mau kalian berpisah!"

Kali ini ucapannya benar-benar membuatku tersentak. "Tapi, aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya!"

"Tapi kau suka dia kan?! Dia juga menyukaimu, kan?! Dan kau tau hal itu, iya kan?!"

Aku menelan ludah. Berusaha mencari jawaban yang tepat untuk teriakannya.

Tapi aku tak bisa mengeluarkan sedikitpun argumenku.

Karena semua yang dia katakan adalah benar.

"Kenapa, Aya? Kau sahabatku,"

Dia tertawa keras, mengejekku. "Sahabat? Dasar cewek bodoh! Kau kira aku sungguh ingin berteman denganmu?"

Sebuah tetesan air mata berhasil terjatuh dan mengalir di pipi kananku. Aku mengusapnya cepat, berharap wanita kecil dihadapanku tak melihatnya.

"Dasar cengeng,"

Dia berjalan melewatiku. Pundaknya menabrakku keras, membuatku hampir terkungkal. Tapi dia tidak peduli. Hanya membiarkanku dan isakanku yang semakin menjadi.

---------------------

Aku duduk di bandara. Bersama seorang lelaki besar yang kini menatapku erat. Aku meliriknya.

"Kenapa kau menatapku seperti itu, Putra? Seakan kau mau melahapku,"

Dia tersenyum kecil. "Tidak apa. Biarkan aku menatapmu sebentar saja. Untuk terakhir kalinya," aku mengangguk kecil.

Selama beberapa menit, aku hanya diam dan membiarkan seorang lelaki menatapku lembut.

Aku bahagia jika dia menatapku lembut seperti ini. Tapi tak lagi jika mengingat wanita kecil yang juga menyukainya.

Aku menghela nafas lega begitu suara pemanggilan untuk pesawat terbang ke Amerika akan segera berangkat terdengar. Aku tersenyum kecil.

"Sudah sana. Berangkat, cowok besar,"

Dia tersenyum, lalu bangkit dari duduknya. Dia berdiri dihadapanku, menatapku cukup lama.

"Kenapa?" dia diam.

"Aku pasti kembali, Sasha,"

Aku membuang wajahku kearah lain. Menghindari tatapan lembutnya yang begitu mematikan. "Ya,"

Dia masih diam. Lalu dia mengambil tasnya. "Aku pergi dulu, ya," aku mengangguk. "Hati-hati,"

Aku menatap punggung lebarnya menjauh. Aku menghela nafasku keras.

Satu lagi orang penting harus pergi dari hidupku.

Saat aku berbalik untuk pulang, Putra memanggil namaku keras.

Aku berbalik dan menatapnya. Mendapatinya tersenyum miris.

"Aku berharap kau akan berkata bahwa kau akan menungguku!"

Aku hanya diam tak bereaksi mendengar teriakannya. Dia tersenyum lesu, lalu mulai berjalan menjauh lagi.

Meninggalkanku untuk selamanya.

---------------------

Aku menatap Aya lembut. "Kita berdamai saja, ya?"

Dia diam. Hanya diam. Menatapku tak peduli. Tapi kemudian dia mengangguk. "Ya, Sasha. Kita berdamai saja,"

Aku tersenyum lebar. Melihat peluang masalahku akan selesai. Tapi senyumanku memudar ketika dia berjalan pergi meninggalkanku dan berkata,

"Tapi jangan harap semua akan kembali seperti pada awalnya,"

---------------------

Aku menghirup udara segar Bogor. Kemudian tersenyum lebar. Aku kembali menatap ibuku yang sedari tadi menatapku cemas.

"Kau yakin, ingin tinggal sendiri?" aku mengangguk. "Ya, ibu. Aku ingin belajar lebih dewasa,"

Ibu mengangguk kecil. "Terserah apa maumu, Sasha. Tapi jaga dirimu baik-baik, ya?" aku mengangguk, lalu merentangkan tanganku, memeluk ibuku erat.

Ya, lebih baik begini.

Persahabatanku antara mereka berdua sudah pudar, hilang tak berbekas. Lebih baik aku pergi dari hidup mereka. Putra maupun Aya. Selamanya. Meninggalkan mereka hidup menjalani kehidupan mereka masing-masing.

Tanpa ada campur tangan dari diriku.

Aku tersenyum. Lebih untuk diriku sendiri. Berusaha melegakan perasaanku yg masih terasa berat meninggalkan kedua orang itu.

Tak apa. Aku harus bisa menerimanya.

Ya..

Karena ini, adalah pilihanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar